Kamis, 21 Juli 2011

Membaca Buku, Mengubah Takdir..

Oleh : Soeparto Brata
Sumber : Jawa Pos, Kamis, 21 Juli 2011

     Hidup sastrawi yang saya maksut adalah putra bangsa, selain mengandalkan kepekaan indrawinya, berbudaya membaca dan menulis buku sebagai kiat hidupnya. Membaca dan menulis buku bukan kodrat. Jadi, harus dilatih, diajar, dibiasakan. Dr. Taufik Ismail yang pada 1996 meneliti di beberapa negara mengatakan bahwa lulusan SMA di Jerman rata-rata membaca 32 judul buku, Belanda 30 buku, Swiss 15 buku, Jepang 15 buku, Singapura 6 buku, Malaysia 6 buku,  Brunai 7 buku, sedangkan anak Indonesia 0 buku. Kalau penelitian Taufik Ismail hingga sekarang masih berlangsung (pelajar SMA lulus ujian nasional/unas membaca 0 buku), ramalan saya DSCJ mengalami kegagalan jelas sudah terbayang. Bagaimana pelajar SMA hingga lulus unas tidak membaca sejudul buku pun? Pasti mereka tidak hidup sastrawi. Sebab, pola pendidikan nasional Indonesia tidak memberi kesempatan untuk membudayakan putra bangsa membaca dan menulis buku.

     Contoh bahwa orang dewasa (kuasa) Indonesia tidak berbudaya membaca dan menulis bisa dilihat di tempat-tempat umum atau tulisan : Di Jual Motor. Atau tulisan dengan ejaan yang salah Antar Kota Antar propinsi beredar dimana-mana, menandakan bahwa bangsa Indonesia memang tidak berbudaya membaca (buku) dan menulis (buku).

     Selain itu, pola pengajaran sekolah Indonesia akhir-akhir ini lebih mengutamakan muatan ilmu. Dari SD diarjakan ilmu banyak-banyak (agar cerdas?) dengan pamrih agar bisa melanjutkan sekolah ke jenjang SMP. Di SMP juga di ajarkan ilmu banyak-banyak agar bisa melanjutkan sekolah di SMA. Di SMA pelajar juga dibebani ilmu banyak-banyak agar nanti bisa lulus menempuh uas. Muridnya, gurunya, sekolahnya berusaha keras untuk lulus dan bisa melanjutkan sekolah. Kalau tidak, muridnya malu, gurunya malu, sekolahnya malu.

     Saya mengalami sekolah pendidikan dasar (SD) zaman Belanda, zaman Jepang, dan zaman perjuangan (1938-1949). Kelas I sampai kelas VI (zaman Belanda) tiap hari diajari buku cerita (sastra). Tidak ada hari sekolah tanpa membaca buku. Di kelas III, jam pelajaran enam kali sehari, kecuali Jumat (tiga kali). Tiap hari masuk kelas, cerita-cerita seperti itu harus dibaca dan ditulis. Pada zaman Jepang, buku bacaan bahasa Jepang belum banyak belum banyak beredar sehingga pelajaran membaca cerita begitu ditulis oleh guru di papan tulis. 

     Dari situlah bisa diamati, pelajaran utama bersekolah 12 tahun awal umur anak manusia, baik zaman Belanda maupun zaman Jepang, zaman dulu maupun zaman sekarang, adalah membaca-buku-membaca-buku. Membaca buku itu mengubah takdir menjadi nurani lebih bijak. Sudah terbukti sejak Plato, murid Socrates, hidup 470-399 SM mendirikan Akademus dan menulis dan meulis buku Apology yang menceritakan pembelaan Socrates ketika dihukum mati dan pidato-pidato ilmu filsafat Socrates dalam buku Epistles. Dan sudah terbukti bahwa banyak masyarakat Indonesia sekarang yang tidak cerdas dan tidak jujur suka menyalahkan orang lain, munafik, bertindak beringas, membuat onar, mengkritik orang lain hingga orang lain hancur menjadi kegairahan hidup para pengkritik.

     Dale Cornegie bilang "Semua orang bodoh bisa mengkritik, mencerca, dan mengeluh - dan hampir semua orang bodoh melakukannya ". Mengapa orang Indonesia masa kini berbuat begitu, seharusnya dirubah ! Diubah seperti negara-negara maju yang lain, yaitu bersekolah 12 tahun digunakan untuk menggembleng putra bangsa berbudaya membaca dan menulis buku. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar